Kemampuan untuk melambat, dan berbelok dari ‘berpikir’ ke ‘merasakan,’ untuk menghargai daripada menyempurnakan. Perspektif inilah yang bisa menjadi ‘penawar racun’ yang kita cari di dunia yang penuh kekacauan, tetapi sangat terobsesi dengan kesempurnaan.
Interiordesign.id – Dalam kehidupan sehari-hari, hampir dapat dipastikan bahwa kesempurnaan adalah hal yang selalu dicari dan didambakan setiap orang. Mulai dari memilih peralatan makan, membeli mobil, menginginkan kehidupan percintaan, keluarga, dan bahkan masa depan yang sempurna.
Namun, sebenarnya kita tahu hidup tidak akan selalu sempurna dan susah untuk diprediksi. Apa yang mungkin terjadi di masa depan tidak akan selalu sesuai ekspektasi.
Pada sisi lain, meski menjadi semacam ‘paradoks’, inilah sebenar-benarnya makna hidup. Di saat ‘hidup’ penuh ketidakpastian, dari situ jugalah hadir berbagai kemungkinan yang tidak terbatas. Dan nilai inilah sebenarnya yang terkandung dalam konsep dasar filosofi tradisional Jepang, Wabi Sabi. Merangkul kedamaian dan ketenangan di dalam dunia yang penuh dengan ketidaksempurnaan.
Apa Itu Wabi-sabi?
Pembahasan wabi sabi sangat luas sehingga tidak mungkin ditulis di dalam satu topik pembahasan. Tetapi di sisi lain, ini sangat mudah untuk diimplementasikan pada momen-momen sederhana di kehidupan sehari-hari.
Pada intinya, wabi sabi mendukung kita untuk berani fokus pada setiap anugerah, karunia, hikmah, kebaikan, -atau apapun istilahnya-, yang terselip di kehidupan kita sehari-hari. Merayakan masa sekarang secara apa adanya daripada memikirkan bagaimana masa sekarang seharusnya.
Contoh kecil dari konsep Wabi Sabi di dalam kehidupan sehari-hari adalah saat kita memerhatikan sebuah taman. Taman yang tidak ‘tampak’ rapi dengan dedaunan kering berserakan di atas tanah, adalah sebuah kebaikan sekaligus keindahan, -bukan sebaliknya-. Ini terjadi karena pada dasarnya pepohonan pasti mengalami kerontokan, dan kewajaran itupun tidak perlu untuk ditutup-tutupi. Tidak perlu pusing untuk selalu membersihkannya, hargailah keindahan dan ke-alami-annya.
Wabi-sabi dalam Desain Interior
Penerapan konsep wabi sabi dalam interior hanya membutuhkan pikiran yang ‘jujur’ untuk dapat menghargai setiap keindahan yang terkandung, keberanian untuk menghadapi ‘keaslian,’ dan kesediaan untuk menerima berbagai hal sesuai adanya.
Bicara soal konsep wabi-sabi dalam dunia desain, terutama desain interior, telah menjadi hal yang sangat lazim. Filosofi wabi-sabi banyak diadopsi dan sering sekali dilakukan oleh para desainer interior di seluruh dunia. Wabi-sabi dianggap sangat unik dan mengagumkan.
Implementasi Wabi Sabi dalam desain interior adalah seperti melihat keindahan di balik sebuah meja yang tampak kusam dan jelek, -akibat pengaruh usia-, tetapi justru itulah nilai keindahannya. Meja ‘tua’ bernilai tinggi karena pengalamannya. Retakan dan kekusaman pada meja lebih dianggap sebagai ‘aset’ alih-alih sebagai cela.
Hanya karena wabi sabi menghargai ketidaksempurnaan, bukan berarti boleh terjadi kesemrawutan. Desain Wabi Sabi justru harus ‘ekstra rapi’ dalam penataan benda-benda pada suatu ruangan. Ini agar suasana damai dan tenang dapat benar-benar tercapai.
Berbeda dengan desain minimalis yang menjunjung tinggi kesederhanaan tanpa terlalu memerhatikan ‘perasaan’ yang akan timbul, konsep wabi sabi justru lebih fokus pada perasaan yang akan ditimbulkan, yakni perasaan damai dan tenang. Ini sejalan dengan fakta bahwa siapapun pasti akan merasa ‘sakit kepala’ saat melihat ruangannya berantakan, bukan?
Penggunaan konsep Wabi Sabi dalam desain interior juga sangat merangkul otentisitas. Menghargai sifat dasar dari segala sesuatu, baik material, warna, maupun bentuk atau tekstur, seperti material kayu yang memiliki ciri khas warna coklat dengan tekstur seratnya yang tidak beraturan.
Seseorang yang antusias dengan wabi sabi akan memandang ciri khas yang dibawa setiap material sebagai sesuatu yang unik dan dipandang sebagai keindahan natural. Kejujuran tentang jati diri yang dimiliki.
Pemotongan bentuk kayu menjadi geometris, pemasangan lapisan HPL pada permukaan kayu, atau penutupan warna asli kayu dengan warna-warna, sangat bertolak belakang dengan filosofi wabi sabi.
Kesederhanaan wabi sabi sangat mudah diaplikasikan dalam desain. Tidak memerlukan bujet yang besar, latihan, atau bahkan ‘skill set‘ spesial. Penerapan konsep wabi sabi dalam interior hanya membutuhkan pikiran yang ‘jujur’ untuk dapat menghargai setiap keindahan yang terkandung, keberanian untuk menghadapi ‘keaslian,’ dan kesediaan untuk menerima berbagai hal sesuai adanya.
Jika dibandingkan dengan harus selalu mengikuti tren, -dengan membeli benda-benda mewah yang berkilap-kilap dan memiliki kesempurnaan mendetail-, desain wabi sabi justru menemukan harmoni di dalam keontetikan dan ketidaksempurnaan.
Kemampuan untuk melambat, dan berbelok dari berpikir ke merasakan, untuk menghargai daripada menyempurnakan. Perspektif inilah yang bisa menjadi ‘penawar racun’ yang kita cari di dunia yang penuh kekacauan, tetapi sangat terobsesi dengan kesempurnaan.
Konsep wabi-sabi juga menjunjung tinggi keindahan alam sehingga mendukung adanya elemen alam seperti tanaman, batu-batuan, patung kayu, dan lain-lain. Ketidaksempurnaan dari hal-hal natural seperti pada bentuknya, teksturnya, atau warnanya, sangat berguna sebagai pengingat bahwa segala sesuatu yang indah itu tidak selalu sempurna.
Wabi sabi membantu mengingatkan kita bahwa di dunia ini tidak ada yang selamanya, baik itu diri kita, orang-orang di sekeliling kita, maupun benda-benda yang kita miliki. Bahwa tubuh dan segala benda akan kembali menjadi debu seiring berjalannya waktu.
Implementasi wabi-sabi dalam desain interior, adalah konsep yang meminimalisir kepemilikan. Menjauhkan mindset terobsesi dengan benda-benda duniawi, sehingga dapat lebih fokus kepada keindahan, utilitas, ketenangan, dan kedamaian.
Megan Victoria
Mahasiswa Desain Interior Universitas Kristen Petra Surabaya.
A Wabi Sabi enthusiast! Nature lover, loner, observant, adventure seeker, not to mention always busy dealing with homeworks.